Beranda Lingkungan Dilema Tren Thrifting, Kita Bisa Apa?

Dilema Tren Thrifting, Kita Bisa Apa?

17
0
Ilustrasi thrifting (Pixabay/ Angelsover)

Thrifting atau kegiatan berbelanja pakaian bekas, kini kembali menjadi tren di kalangan generasi muda. Mulanya, kegiatan thrifting di Indonesia muncul sejak tahun 80-an yang dilakukan oleh masyarakat wilayah pesisir atau pelabuhan perbatasan negara tetangga, seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Meski sudah paham bahwa pakaian yang mereka beli adalah barang impor yang telah dianggap sampah oleh masyarakat di negara maju. Namun thrifting masih menjadi alternatif yang digemari masyarakat kita dari waktu ke waktu. Apalagi, setelah maraknya gaya hidup zero waste yang dikampanyekan secara global. Dari alasan tersebut, tentu thrifting menawarkan solusi sustainable dalam meminimalisir limbah tekstil.

Akibat Industri Fast Fashion

Berbanding terbalik dengan negara berkembang, di negara maju seperti China, Amerika, Inggris, dan Australia, industri tekstil dengan waktu pemakaian yang singkat dan dibuat dengan bahan yang sulit terurai atau fast fashion, justru berkembang sangat pesat. Industri fast fashion memproduksi jumlah pakaian yang melimpah, bahkan melebihi angka kebutuhan pasar. Tercatat setiap tahun industri fast fashion diperkirakan memproduksi sekitar 100 miliar potong pakaian yang dijual ke berbagai negara. Merk-merk tersebut cukup familiar dalam kehidupan sehari-sehari, seperti Zara, H&M, Shein, Forever 21, Fashion Nova, dan Mango.

Menurut laporan PBB, limbah dari industri fast fashion ini menyumbang sebanyak 92 juta ton pertahun dari total limbah tekstil global. Lalu limbah-limbah tersebut dibuang ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dengan dalih daur ulang.

Kebijakan Negara Belum Maksimal

Untuk meminimalisir pembuangan ke negara kita, baru-baru ini pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 membuat aturan pembatasan impor thrifting. Peraturan ini juga dibuat karena kekhawatiran akan pakaian-pakaian bekas itu yang menjadi ancaman bagi industri tekstil lokal dan garmen, serta berisiko membawa penyakit yang membahayakan.

Sayangnya, sebagai masyarakat di negara berkembang, berbelanja thrifting menjadi alternatif paling logis untuk diterapkan. Alasannya, karena produk fast fashion dianggap lebih terjangkau dan lebih berkualitas daripada produk lokal, fomo akibat tren gaya hidup sustainable, kurangnya kesadaran akan risiko yang ditimbulkan, serta pengawasan aparat yang kurang ketat masih jadi pemicu atas tingginya impor thrifting di negara kita.

Apa yang bisa dilakukan?

Bahkan, setelah setahun terbit peraturan itu, BPS memuat data bahwa volume impor pakaian bekas meningkat tajam hingga 607,6% dibanding tahun 2021. Artinya, thrifting yang awalnya dilakukan untuk mengurangi sampah global, justru menjadi masalah baru bagi lingkungan yang membuat kita dilema sebagai generasi muda. Langkah paling mudah yang bisa kita lakukan saat ini adalah, dengan menerapkan gaya hidup seminimialis mungkin. Pertama dengan mengurangi konsumsi atau pembelian pakaian yang tidak begitu penting. Kedua, dengan memanfaatkan pakaian kita miliki semaksimal mungkin. Ketiga, membatasi jumlah pakaian yang kita miliki sesuai kebutuhan. Lalu jika dikemudian hari berbelanja pakaian, hendaknya memilih bahan yang mudah didaur ulang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini