Ekofeminisme merupakan sinergitas gerakan feminis dan ekologi yang muncul pada tahun 1970-an sebagai term populer, dimana gerakan ini menyoroti aktivitas lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi serta hubungannya dengan subordinasi dan despotis terhadap perempuan. Ditinjau dari sejarah manusia, Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens menyatakan bahwasanya, manusia itu mengalami perkembangan dalam 3 (tiga) revolusi; revolusi kognitif, revolusi agrikultur, dan revolusi saintifik. Dari revolusi yang dilalui, manusia belajar bahasa sebagai alat komunikasi, menciptakan legenda, mempercayai adanya dewa-dewa, menciptakan kerja sama yang akhirnya membentuk korelasi manusia dengan alam, kemudian terciptalah kebudayaan. Penyatuan manusia ini kemudian membentuk imperium atas lingkungan hidup yang bisa jadi, manusia menjadi momok yang menyeramkan bagi ekosistem.
Perempuan, kerap kali termaginalisasi oleh sistem yang mengakar di masyarakat. Sehingga, apa yang menjadi hak manusia seutuhnya, menjadi satu hal yang harus dilawan oleh perempuan. Sejatinya, perempuan dan alam memiliki relasi yang kuat karena secara fundamental, perempuan dan alam sama-sama mengalami penindasan yang berulang oleh dominasi maskulin yang mengungkung kesadaran perempuan dan terpaksa dilumpuhkan.
Ekofeminisme lahir dari rahim perjuangan perempuan yang tersadarkan bahwasanya perempuan dan alam jauh lebih rentan terhadap ketidakpastian kebijakan yang otoriter atas lingkungan. Ekofeminisme menjadi relevan mengingat setiap harinya, kita disuguhkan pada transisi global serta sikap skeptisisme pada penguasa yang seharusnya memuat problem solving atas segala bentuk kekacauan yang terjadi pada alam. Artinya, ekofeminisme secara komprehensif bukan hanya berbicara menyoal keikutsertaan perempuan untuk turut serta menjaga bumi, tetapi juga bentuk perlawanan guna memutus segala bentuk patriarki yang mengakar di masyarakat,
Gerakan ekofeminisme menitikberatkan humanistik yang dalam kajian lingkungan hidup kontemporer, pendekatan yang semata-mata menitikberatkan pada aspek fisik dan biologis tidak lagi memadai. Dimensi sosio-kultural harus turut diperhitungkan sebagai bagian integral dari analisis dan upaya pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan menuntut pemahaman yang komprehensif terhadap konstruksi sosial dan cara pandang masyarakat secara umum terhadap alam.
Ekofeminisme menghindari reduksi tanggung jawab ekologis hanya kepada kelompok tertentu, perjuangan ekofeminisme bukan sekadar “memberdayakan perempuan” dalam arti dangkal. Ini adalah upaya membongkar struktur patriarki dan kapitalisme yang telah lama menyuburkan krisis ekologi. Perubahan sosial dan ekologis yang efektif mensyaratkan partisipasi kolektif lintas gender dan kelompok sosial dalam upaya perlindungan lingkungan.